my self . me . and . i

Foto saya
Bandung, Indonesia
love japanese culture very much !

Minggu, 06 Februari 2011

Chernobyl, Nuclear Radiation Mass Murderer , 200 Times More Powerful Than Atomic Bombs of Hiroshima - Nagasaki .





Boleh jadi hal yang paling disesali Albert Einstein adalah penemuan atomnya, walau faktanya penemuan itu pulalah yang membuat namanya tergores dalam sejarah. Laiknya dua sisi mata uang logam yang berbeda, atom dapat memberi kemaslahatan pada umat manusia, namun dapat pula menjadi penghancur yang mengerikan.



Sejarah pula yang mencatat hancurnya dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh senjata pemusnah massal bernama bom atom. Di tahun-tahun berikutnya, pengembangan dari senjata tersebut menimbulkan hantu yang lebih menakutkan, nuklir.



Tapi jangan salah, nuklir bukan saja berbahaya di saat perang, juga momok menakutkan di waktu damai. Alih-alih sumber energi, ternyata bahaya radiasi pun menghantui manusia dari waktu ke waktu. Suatu konsekuensi yang mesti ditelan, buah dari keinginan manusia untuk lebih berkuasa dibanding sesamanya.

Setidaknya, catatan kelam pernah dialami Ukraina, manakala terjadi kebakaran, ledakan, serta kebocoran di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl. Tragedi Chernobyl, bukan cuma berimbas buruk pada manusia yang tinggal di wilayah Belarus, Rusia dan Ukraina saja, melainkan seluruh Eropa.





MASALAH BEBERAPA ABAD

Pada 26 April 1986, penduduk Kiev dikejutkan oleh sebuah ledakan besar. Ledakan ini memuntahkan potongan inti reaktor sampai 1500 meter ke langit dan menebarkan awan beracun ke 70 persen daratan Eropa. Radioaktivitas total ledakan Chernobyl, menurut WHO, ditaksir 200 kali radiasi bom atom Hiroshima dan Nagasaki.



Kelompok pecinta lingkungan Greenpeace bahkan menaksir, 160 ribu kilometer persegi tanah terkontaminasi bahan radioaktif. Sementara Mantan Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali mengatakan, "Kecelakaan Chernobyl tidak dapat dianggap sebagai masalah beberapa abad saja, tapi juga masalah kekinian karena banyak program sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus didefinisikan kembali."

Yang pasti, fakta menunjukkan lima juta orang di sekitar Chernobyl terkena radiasi. Sekitar 650 ribu diantaranya adalah para buruh yang bertugas membersihkan muntahan ledakan Chernobyl. Dan sekitar 200 ribu dari 650 buruh tersebut, merupakan kelompok kunci beresiko tinggi terpapar radiasi. Mereka berada dalam zona penyingkiran, atau sekitar 30 kilometer dari pusat ledakan Chernobyl.


Sepuluh tahun kemudian tercatat, 60 ribu buruh pembersih yang kebanyakan berusia 30 tahunan, meninggal dunia. Sementara 30 persen laki-laki pekerja pembersih yang masih hidup menderita impotensi. Yang menjadi masalah, sebagian besar buruh ini ditolak dalam kehidupan sosialnya. Penyebabnya, mereka dicurigai akan menularkan radiasi dari reaktor PLTN kepada orang-orang di sekitarnya. Hal inilah yang memicu mereka meninggal akibat kecanduan alkohol, mati dalam kemiskinan, serta bunuh diri.

Dokter spesialis penyakit -yang berkaitan dengan tragedi Chernobyl- Natalya Preobrashenskaya mengatakan, selain pekerja pembersih muntahan radioaktif, jutaan anak-anak yang tetap hidup pasca ledakan merupakan kelompok berisiko tinggi terpapar radiasi. Preobrashenskaya bahkan menyatakan, jutaan anak-anak yang lahir di masa mendatang juga akan terkena cemaran radiasi Chernobyl, sesuai prilaku radioaktif yang dipakai sebagai bahan bakar PLTN, jutaan tahun!



PENYAKIT AKIBAT RADIASI

Apa saja penyakit yang timbul setelah tragedi Chernobyl? Boutros Boutros Ghali menyebutkan, lebih dari 300 anak-anak terdiagnosis kanker gondok, kesuburan pria wanita menurun drastis, dan angka kematian naik.

Secara lebih terperinci, 60 persen anak-anak Ukraina atau sejuta orang lebih menderita kanker gondok, sepuluh persen lainnya yang masih duduk di bangku SD mengalami rusak mental, serta sebagian besar anak-anak Ukraina menderita penyakit tulang. Preobrashenskaya mengatakan, kekebalan tubuh anak-anak Ukraina pun menurun drastis sehingga disebut pula AIDS-Chernobyl.

Penelitian Preobrashenskaya senada dengan penelitian WHO. Badan Kesehatan Dunia itu menyatakan, setelah peristiwa Chernobyl terjadi peningkatan kasus kanker gondok anak, 100 kali dibanding prakecelakaan Chernobyl. Kenyataan lainnya, penduduk Kiev banyak yang terkena kanker paru-paru dan jantung. Dan banyak dokter memperkirakan, dalam waktu mendatang, epidemi berbagai penyakit menular akan meningkat di sekitar lokasi kejadian, dan di kalangan mereka yang terpapar radiasi nuklir.

Tragisnya, terapi kimia normal tidak efektif (mempan-red) pada penderita kanker akibat radiasi Chernobyl. Menurut Dr Andrei Butenko dari rumah sakit nomor satu di Kiev, dipastikan kanker gondok ganas yang menimpa anak-anak Ukraina akibat kontaminasi isotop iodium-131, isotop iodium yang radioaktif. Imbasnya, dengan terapi kimia di atas normal, kepala para pasien membotak dan wajah mereka bengkak-bengkak.

Horor yang kurang lebih sama dialami anak-anak Yunani. Anak-anak di negara tersebut berisiko terkena kanker dua hingga tiga kali akibat Chernobyl. Bahkan, anak-anak Yunani yang terpapar radioaktif ketika masih dalam kandungan ibunya berisiko menderita leukimia 2,6 kali lipat dibanding anak-anak lainnya. Hal ini karena adanya mutasi gen yang diberi nama 11q23.


MUTASI GEN

Mutasi gen merupakan imbas lain dari kejamnya radiasi Chernobyl. Mutasi gen 11q23 ini merupakan salah satu contoh nyata yang berhubungan dengan leukimia pada bayi. "Temuan ini merupakan bukti langsung pertama, bahwa radiasi ternyata menimbulkan mutasi pada anak manusia," ulas Sir Alec Jeffreys, ahli genetika dari Universitas Leicester.

Sir Alec melakukan penelitian pada 79 keluarga yang tinggal di Mogilev, Belarus, kawasan yang terkena radiasi tinggi, kurang lebih 300 kilometer dari Chernobyl. Ia meneliti anak-anak di keluarga tersebut yang lahir antara Februari-September 1994. Sebagai perbandingan, ia juga meneliti 105 anak-anak yang tidak terkena radiasi dari Inggris.

Hasilnya, anak-anak Mogilev terbukti mengalami mutasi gen dua kali lebih tinggi dibandingkan anak-anak di Inggris. Mutasi tersebut jelas diturunkan oleh orang tua mereka, dan secara permanen terkode pada gen anak-anak mereka. Artinya, mutasi tersebut juga akan diturunkan pada generasi-generasi selanjutnya.




Menurut Sir Alec, mutasi pada keluarga di Mogilev berhubungan dengan tingkatan kontaminasi permukaan oleh caesium 137, sebuah isotop radioaktif. Bahkan ahli genetika dari Akademi Sains Rusia Yuri Dubrova menyatakan, kelompoknya melihat lokasi genetik tertentu yang dikenal dengan nama minisatellites yang mengalami laju mutasi 1000 kali lipat lebih tinggi dibandingkan gen lainnya.



Sementara itu, Robert Baker dari Universitas Teknologi Texas meneliti dua kelompok tikus, yaitu kelompok yang tinggal satu kilometer dari reaktor, dan yang hidup 32 kilometer dari reaktor. Yang diteliti adalah mitokondria DNA (bagian sel yang diturunkan induk betina) pada anak tikus-tikus.

Hasilnya, walau tikus yang hidup dekat reaktor terlihat sehat dan subur, tapi mereka mengalami laju mutasi ratusan kali lebih tinggi dari kondisi normal. "Artinya, lingkungan yang tercemar akibat ledakan Chernobyl memberikan dampak nyata perubahan gen pada mahluk hidup sekitarnya," ulas Robert Baker.






Minggu, 23 Januari 2011

Jokichi Takamine, The Pioneer of Japanese Chemist .



Jokichi Takamine dilahirkan pada tanggal 3 November 1854 di Takaoka, Jepang. Ayahnya, Seichi, adalah seorang tabib seperti kebanyakan nenek moyangnya dalam keluarga Takamine. Tidak seperti teman sebayanya, Takamine belajar bahasa Inggris di usia yang masih sangat muda. Ia bersekolah di Osaka, Kyoto, dan Tokyo, lulus dari kampus sains dan tekhnik di Universitas Tokyo pada tahun 1879. Pada tahun tersebut, Pemerintah Jepang memilih Takamine sebagai satu dari 12 orang penerima beasiswa untuk mengejar studi lanjutan di Skotlandia di Universitas Glasgow dan Kampus Anderson. Ia kembali ke Jepang pada tahun 1883 dan bergabung di Departemen Agrikultur dan Perdagangan.
Pada tahun 1884, Takamine melakukan perjalanan pertamanya ke Amerika Serikat untuk mengikuti Pameran Katun ke 100, di mana ia bertemu dengan calon istrinya, Caroline Field Hitch. Mereka menikah pada tahun 1884 da memiliki dua anak. Keluarga ini lalu pindah ke Jepang, dan Takamine melanjutkan pekerjaan di Departemen Agrikultur dan Perdagangan sebagai Kepala Divisi Kimia hingga tahun 1887. Pada saat itu, ia membentuk perusahaan sendiri, Perusahaan Pupuk Buatan Tokyo, di mana ia selanjutnya mengisolasi enzim pencerna kanji, Takadiastase, dari sebuah jamur.



Pada tahun 1884, Takamine pindah ke Amerika Serikat secara permanen, menetap di Kota New York. Ia membuka laboratorium penelitiannya sendiri dan mengizinkan Parke, Davis & Company memproduksi Takadiastase secara komersial. Pada tahun 1901, ia mengisolasi dan memurnikan hormon adrenalin di laboratoriumnya, dan menjadi orang pertama yang menyelesaikan hormon kelenjar.
Selama sisa hidupnya, Takamine bepergian antara Amerika Serikat dan Jepang dan membuat kontribusi ilmiah yang nyata di kedua negara. Ia juga bekerja untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik antara dua negara dan turut berpartisipasi dalam sumbangan Jepang untuk amal ke Washington DC. Jokichi Takamine meninggal pada tanggal 22 Juli pada tahun 1922 di kota New York.

Jumat, 21 Januari 2011

Kenichi Fukui, Japanese Chemist Who Was Awarded The Nobel Prize .



Kenichi Fukui lahir di Nara, Jepang pada tanggal 4 Oktober 1918. Dia merupakan lulusan Departemen Kimia Industri, Kyoto Imperial University tahun 1941. Sampai pada tahun 1943, dia melakukan penelitian mengenai bahan bakar sintetik di Army Fuel Laboratory. Kemudian, dia menjadi dosen di Fuel Chemistry Department, Kyoto Imperial University dari tahun 1951 sampai 1982 dan kemudian menjadi Profesor Emeritus. Dia memperoleh Ph. D. di bidang teknik pada tahun 1948. Pada periode April 1971 sampai Maret 1973, dia menjadi Dekan Fakultas Teknik, Kyoto University. Antara 1982 dan 1988, dia mengabdi sebagai Presiden Kyoto Institute of Technology. Setelah itu dia menjadi Direktur Institute for Fundamental Chemistry.


Dia melakukan penelitian di bidang kimia organik, katalis dan reaksi, dan teori reaksi kimia serta subjek yang berhubungan dengan itu. Penelitian yang lainnya termasuk teori statistik pembentukan gel, sintesis organik melalui garam anorganik, dan kinetika polimerisasi dan katalis. Pada tahun 1952, pekerjaan pertamanya dalam teori reaksi kimia dihasilkan ketika dia menemukan hubungan antara densitas elektron batas (frontier electron density) dan reaktivitas kimia dalam hidrokarbon aromatik yang luas dan semakin luas antara senyawa dan reaksi. Ide dasar sangatlah esensial yaitu memperhatikan pentingnya delokalisasi elektron antara orbital batas (frontier orbital) spesi reaktan. Pendekatan orbital batas dapat dikembangkan ke berbagai arah. Dia tertarik memformulasikan garis edar reaksi kimia yang memberikan informasi pada bentuk geometris reaksi molekul, dan dia membuat aturan orbital batas pada reaksi kimia dengan lebih jelas melalui visualisasi dan gambar. Untuk penelitiannya ini, dia berbagi Nobel Prize bidang kimia pada tahun 1981 bersama Roald Hoffman untuk teori mereka, pengembangan mandiri, mengenai rangkaian reaksi kimia.




Dia menerima The Japan Academy Medal pada tahun 1962, dan Order of Culture and a Person of Cultural Merits, november 1981. Dari Januari sampai Juli 1970, dia menerima National Science Foundation Senior Foreign Scientist Fellow dan US-Japan Eminent Scientist Exchange Program Chemist pada bulan September 1973. Dia merupakan anggota International Academy of Quantum Molecular Science (Perancis), penasehat Institute for Molecular Science, Foreign Associate, National Academy of Sciences, Anggota European Academy of Arts, Sciences and Humanities, Anggota Kehormatan American Academy of Arts and Sciences, Anggota Japan Academy, dan anggota Pontifical Academy of Sciences. Dia mengabdikan diri sebagai Wakil President Chemical Society of Japan tahun 1978-1979 dan sebagai Presiden, tahun 1983-1984.


Pada tahun 1947, dia menikahi Tomoe Horie dan kemudian dikaruniai satu putra, Tetsuya, dan satu putri, Miyako. Dia meninggal pada tanggal 9 januari 1998 di Kyoto, Jepang.





How Japan Introduce Science to Young Peoples .

Layar informasi milik Nagoya University yang dipasang di dekat pintu tiket stasiun Nagoyadaigaku sebulanan ini menampilkan tiga wajah Nobelist. Mereka adalah Prof Toshihide Masukawa dan Prof Makoto Kobayashi, peraih Nobel Fisika 2008 yang keduanya lulusan Fakultas Science, Nagoya University, masing-masing pada tahun 1962 dan 1972, dan seorang lagi peraih Nobel Kimia, yaitu Prof Osamu Shimomura, yang juga meraih gelar PhD-nya pada fakultas yang sama, bahkan sempat menjadi associate professor di almamaternya.

Nagoya University sejak lama dikenal sebagai pusat sains dan teknologi di wilayah Jepang Tengah. Pada tahun 2001, Prof Ryouji Noyori, peneliti di Nagoya University, juga meraih Nobel di bidang kimia. Beliau menghadiahkan sebagian besar hadiah yang diperolehnya untuk membangun gedung Noyori Conference Hall di Nagoya University, yang di dalamnya dilengkapi panel-panel untuk memahami seluk-beluk ilmu kimia, termasuk temuan Noyori, yaitu asymmetric molecular catalysis.

Koran Mainichi beberapa saat setelah pengumuman Nobel melaporkan kegembiraan warga Nagoya, dan wartawan mendatangi SMP dan SMA Prof Masukawa dan mewawancarai kepala sekolah beserta siswa-siswa. Para siswa menyatakan kekaguman mereka dan bertekad untuk menekuni sains. Keseharian para Nobelist dan hasil penemuan mereka disajikan di dalam artikel koran dan program TV yang menarik.

Kalau dicermati, minat para Nobelist terhadap sains muncul dalam fase yang berbeda. Prof Ryoji Noyori terinspirasi oleh ayahnya, seorang peneliti plastik dan fiber di sebuah perusahaan kimia. Rumah Noyori dipenuhi oleh jurnal-jurnal ilmiah, plastik, dan fiber yang menjadi bahan pekerjaan ayahnya. Saat ia berumur 12 tahun, ayahnya mengajaknya menghadiri sebuah seminar tentang nilon yang diselenggarakan oleh DuPont. Noyori kecil menjadi sangat terpukau dengan kimia yang berperan banyak dalam mengubah nasib manusia sejak saat itu. Pelajaran kimia yang diperolehnya di SMP dan SMA melalui class work (sanggyou, semacam praktik di industri) memesonanya.

Shimomura justru baru tertarik kepada sains saat menjadi mahasiswa. Ledakan bom di Nagasaki pada PD II menyebabkan penglihatannya terganggu sejak kecil, dan karena kondisi perang, Shimomura berangan-angan untuk menjadi desainer pesawat. Studinya di Nagoya University telah membawanya untuk berkenalan dengan Prof Yoshimasa Hirata (juga menjadi pembimbing Prof Noyori), yang menugasinya untuk meneliti protein pada umi-hotaru (Vargula hilgendorfii).

Kemajuan sains di Jepang tidaklah mengherankan jika kita melihat anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pengembangan sains dan teknologi sebesar 16,2 persen dari total anggaran. Terlepas dari penggunaan sebagian dana untuk membangun banyak museum sains yang dikritisi telah menghabiskan dana pendidikan, sementara keuntungannya tidak berarti bagi warga, anggaran sains dan teknologi di Jepang tergolong sangat tinggi.

Pembaharuan sains di tingkat pendidikan dasar dan menengah terjadi tatkala Prof Noyori menjadi anggota Komite Reformasi Pendidikan Jepang. Noyori memicu lahirnya kebijakan super science project, berupa pengayaan materi belajar sains dan penguatan kegiatan eksperimen di sekolah.
Mencetak Nobelist di Jepang bukanlah agenda reformasi pendidikan di Jepang, tetapi mendorong kecintaan kepada sains dan memfasilitasi ilmuwan-ilmuwan muda di universitas untuk menemukan hal-hal baru, adalah tujuan utama proyek sains di Jepang.

Pada level pendidikan dasar dan menengah, guru-guru sains adalah guru bersertifikat yang terjamin keilmuan, kompetensi, dan kecintaannya kepada pengembangan ilmu. Tugas guru pun ditunjang dengan sarana praktikum dan literatur sains yang memadai.

Bahasa Inggris sebagai bahasa sains internasional sangat memberatkan orang Jepang, oleh karena itu diciptakan terminologi sains dan teknologi dalam bahasa Jepang dan penerjemahan literatur sains ke dalam bahasa Jepang berlangsung sangat intensif.