my self . me . and . i

Foto saya
Bandung, Indonesia
love japanese culture very much !

Minggu, 23 Januari 2011

Jokichi Takamine, The Pioneer of Japanese Chemist .



Jokichi Takamine dilahirkan pada tanggal 3 November 1854 di Takaoka, Jepang. Ayahnya, Seichi, adalah seorang tabib seperti kebanyakan nenek moyangnya dalam keluarga Takamine. Tidak seperti teman sebayanya, Takamine belajar bahasa Inggris di usia yang masih sangat muda. Ia bersekolah di Osaka, Kyoto, dan Tokyo, lulus dari kampus sains dan tekhnik di Universitas Tokyo pada tahun 1879. Pada tahun tersebut, Pemerintah Jepang memilih Takamine sebagai satu dari 12 orang penerima beasiswa untuk mengejar studi lanjutan di Skotlandia di Universitas Glasgow dan Kampus Anderson. Ia kembali ke Jepang pada tahun 1883 dan bergabung di Departemen Agrikultur dan Perdagangan.
Pada tahun 1884, Takamine melakukan perjalanan pertamanya ke Amerika Serikat untuk mengikuti Pameran Katun ke 100, di mana ia bertemu dengan calon istrinya, Caroline Field Hitch. Mereka menikah pada tahun 1884 da memiliki dua anak. Keluarga ini lalu pindah ke Jepang, dan Takamine melanjutkan pekerjaan di Departemen Agrikultur dan Perdagangan sebagai Kepala Divisi Kimia hingga tahun 1887. Pada saat itu, ia membentuk perusahaan sendiri, Perusahaan Pupuk Buatan Tokyo, di mana ia selanjutnya mengisolasi enzim pencerna kanji, Takadiastase, dari sebuah jamur.



Pada tahun 1884, Takamine pindah ke Amerika Serikat secara permanen, menetap di Kota New York. Ia membuka laboratorium penelitiannya sendiri dan mengizinkan Parke, Davis & Company memproduksi Takadiastase secara komersial. Pada tahun 1901, ia mengisolasi dan memurnikan hormon adrenalin di laboratoriumnya, dan menjadi orang pertama yang menyelesaikan hormon kelenjar.
Selama sisa hidupnya, Takamine bepergian antara Amerika Serikat dan Jepang dan membuat kontribusi ilmiah yang nyata di kedua negara. Ia juga bekerja untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik antara dua negara dan turut berpartisipasi dalam sumbangan Jepang untuk amal ke Washington DC. Jokichi Takamine meninggal pada tanggal 22 Juli pada tahun 1922 di kota New York.

Jumat, 21 Januari 2011

Kenichi Fukui, Japanese Chemist Who Was Awarded The Nobel Prize .



Kenichi Fukui lahir di Nara, Jepang pada tanggal 4 Oktober 1918. Dia merupakan lulusan Departemen Kimia Industri, Kyoto Imperial University tahun 1941. Sampai pada tahun 1943, dia melakukan penelitian mengenai bahan bakar sintetik di Army Fuel Laboratory. Kemudian, dia menjadi dosen di Fuel Chemistry Department, Kyoto Imperial University dari tahun 1951 sampai 1982 dan kemudian menjadi Profesor Emeritus. Dia memperoleh Ph. D. di bidang teknik pada tahun 1948. Pada periode April 1971 sampai Maret 1973, dia menjadi Dekan Fakultas Teknik, Kyoto University. Antara 1982 dan 1988, dia mengabdi sebagai Presiden Kyoto Institute of Technology. Setelah itu dia menjadi Direktur Institute for Fundamental Chemistry.


Dia melakukan penelitian di bidang kimia organik, katalis dan reaksi, dan teori reaksi kimia serta subjek yang berhubungan dengan itu. Penelitian yang lainnya termasuk teori statistik pembentukan gel, sintesis organik melalui garam anorganik, dan kinetika polimerisasi dan katalis. Pada tahun 1952, pekerjaan pertamanya dalam teori reaksi kimia dihasilkan ketika dia menemukan hubungan antara densitas elektron batas (frontier electron density) dan reaktivitas kimia dalam hidrokarbon aromatik yang luas dan semakin luas antara senyawa dan reaksi. Ide dasar sangatlah esensial yaitu memperhatikan pentingnya delokalisasi elektron antara orbital batas (frontier orbital) spesi reaktan. Pendekatan orbital batas dapat dikembangkan ke berbagai arah. Dia tertarik memformulasikan garis edar reaksi kimia yang memberikan informasi pada bentuk geometris reaksi molekul, dan dia membuat aturan orbital batas pada reaksi kimia dengan lebih jelas melalui visualisasi dan gambar. Untuk penelitiannya ini, dia berbagi Nobel Prize bidang kimia pada tahun 1981 bersama Roald Hoffman untuk teori mereka, pengembangan mandiri, mengenai rangkaian reaksi kimia.




Dia menerima The Japan Academy Medal pada tahun 1962, dan Order of Culture and a Person of Cultural Merits, november 1981. Dari Januari sampai Juli 1970, dia menerima National Science Foundation Senior Foreign Scientist Fellow dan US-Japan Eminent Scientist Exchange Program Chemist pada bulan September 1973. Dia merupakan anggota International Academy of Quantum Molecular Science (Perancis), penasehat Institute for Molecular Science, Foreign Associate, National Academy of Sciences, Anggota European Academy of Arts, Sciences and Humanities, Anggota Kehormatan American Academy of Arts and Sciences, Anggota Japan Academy, dan anggota Pontifical Academy of Sciences. Dia mengabdikan diri sebagai Wakil President Chemical Society of Japan tahun 1978-1979 dan sebagai Presiden, tahun 1983-1984.


Pada tahun 1947, dia menikahi Tomoe Horie dan kemudian dikaruniai satu putra, Tetsuya, dan satu putri, Miyako. Dia meninggal pada tanggal 9 januari 1998 di Kyoto, Jepang.





How Japan Introduce Science to Young Peoples .

Layar informasi milik Nagoya University yang dipasang di dekat pintu tiket stasiun Nagoyadaigaku sebulanan ini menampilkan tiga wajah Nobelist. Mereka adalah Prof Toshihide Masukawa dan Prof Makoto Kobayashi, peraih Nobel Fisika 2008 yang keduanya lulusan Fakultas Science, Nagoya University, masing-masing pada tahun 1962 dan 1972, dan seorang lagi peraih Nobel Kimia, yaitu Prof Osamu Shimomura, yang juga meraih gelar PhD-nya pada fakultas yang sama, bahkan sempat menjadi associate professor di almamaternya.

Nagoya University sejak lama dikenal sebagai pusat sains dan teknologi di wilayah Jepang Tengah. Pada tahun 2001, Prof Ryouji Noyori, peneliti di Nagoya University, juga meraih Nobel di bidang kimia. Beliau menghadiahkan sebagian besar hadiah yang diperolehnya untuk membangun gedung Noyori Conference Hall di Nagoya University, yang di dalamnya dilengkapi panel-panel untuk memahami seluk-beluk ilmu kimia, termasuk temuan Noyori, yaitu asymmetric molecular catalysis.

Koran Mainichi beberapa saat setelah pengumuman Nobel melaporkan kegembiraan warga Nagoya, dan wartawan mendatangi SMP dan SMA Prof Masukawa dan mewawancarai kepala sekolah beserta siswa-siswa. Para siswa menyatakan kekaguman mereka dan bertekad untuk menekuni sains. Keseharian para Nobelist dan hasil penemuan mereka disajikan di dalam artikel koran dan program TV yang menarik.

Kalau dicermati, minat para Nobelist terhadap sains muncul dalam fase yang berbeda. Prof Ryoji Noyori terinspirasi oleh ayahnya, seorang peneliti plastik dan fiber di sebuah perusahaan kimia. Rumah Noyori dipenuhi oleh jurnal-jurnal ilmiah, plastik, dan fiber yang menjadi bahan pekerjaan ayahnya. Saat ia berumur 12 tahun, ayahnya mengajaknya menghadiri sebuah seminar tentang nilon yang diselenggarakan oleh DuPont. Noyori kecil menjadi sangat terpukau dengan kimia yang berperan banyak dalam mengubah nasib manusia sejak saat itu. Pelajaran kimia yang diperolehnya di SMP dan SMA melalui class work (sanggyou, semacam praktik di industri) memesonanya.

Shimomura justru baru tertarik kepada sains saat menjadi mahasiswa. Ledakan bom di Nagasaki pada PD II menyebabkan penglihatannya terganggu sejak kecil, dan karena kondisi perang, Shimomura berangan-angan untuk menjadi desainer pesawat. Studinya di Nagoya University telah membawanya untuk berkenalan dengan Prof Yoshimasa Hirata (juga menjadi pembimbing Prof Noyori), yang menugasinya untuk meneliti protein pada umi-hotaru (Vargula hilgendorfii).

Kemajuan sains di Jepang tidaklah mengherankan jika kita melihat anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pengembangan sains dan teknologi sebesar 16,2 persen dari total anggaran. Terlepas dari penggunaan sebagian dana untuk membangun banyak museum sains yang dikritisi telah menghabiskan dana pendidikan, sementara keuntungannya tidak berarti bagi warga, anggaran sains dan teknologi di Jepang tergolong sangat tinggi.

Pembaharuan sains di tingkat pendidikan dasar dan menengah terjadi tatkala Prof Noyori menjadi anggota Komite Reformasi Pendidikan Jepang. Noyori memicu lahirnya kebijakan super science project, berupa pengayaan materi belajar sains dan penguatan kegiatan eksperimen di sekolah.
Mencetak Nobelist di Jepang bukanlah agenda reformasi pendidikan di Jepang, tetapi mendorong kecintaan kepada sains dan memfasilitasi ilmuwan-ilmuwan muda di universitas untuk menemukan hal-hal baru, adalah tujuan utama proyek sains di Jepang.

Pada level pendidikan dasar dan menengah, guru-guru sains adalah guru bersertifikat yang terjamin keilmuan, kompetensi, dan kecintaannya kepada pengembangan ilmu. Tugas guru pun ditunjang dengan sarana praktikum dan literatur sains yang memadai.

Bahasa Inggris sebagai bahasa sains internasional sangat memberatkan orang Jepang, oleh karena itu diciptakan terminologi sains dan teknologi dalam bahasa Jepang dan penerjemahan literatur sains ke dalam bahasa Jepang berlangsung sangat intensif.